2.
Sebutkan
Manajemen berbasis sekolah menurut para Ahli?
3.
Sebutkan
ciri-ciri manajemen berbasis sekolah (MBS) ?
4.
Sebutkan
ciri-ciri Sekolah yang bermutu serta menerapkan manajemen berbasis sekolah
(MBS)?
5.
Sebutkan
faktor-faktor Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
Jawaban:
1.
Pengertian
Manajemen Berbasis Sekolah : Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan terjemahan
dari “school-based management”. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang
memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah ( pelibatan masyarakat) dalam
kerangka kebijakan pendidikan nasional. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen
berbasis sekolah (MBS) pada hakekatnya adalah penyerasian sumber daya yang
dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok
kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses
pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau
untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengertian MBS suatu konsep yang menempatkan
kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan
pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar.
2.
Manajemen
berbasis sekolah menurut para ahli:
a.
Menurut
Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan alternatif baru dalam pengelolaan
pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.
b.
Nurcholis
mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah
sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. Secara umum, manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model manajemen
yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan
keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah
(guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional
3.
Cirri-ciri manajemen berbasis
sekolah:
a.
Visi dan misi dirumuskan bersama
oleh Kepala Sekolah, Guru, unsur siswa, Alumni, dan Stakeholder.
b.
Ada Rencana Induk Pengembangan
Sekolah (RIPS) yang mengacu pada visi dan misi yang telah dirumuskan.
c.
Penyusunan RAPBS sesuai dengan RIPS
yang disusun bersama oleh kepala sekolah, guru, dan komite sekolah secara
transparan.
d.
Terwujudnya otonomi sekolah yang
ditandai kemandirian dan dinamika sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
e.
Pengambilan keputusan dilaksanakan
secara partisipatif dan demokratis.
f.
Terbuka menerima masukan, kritik,
dan saran dari pihak manapun demi penyempurnaan program.
g.
Mampu membangun komitmen seluruh
warga sekolah untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan.
h.
Pemberdayaan seluruh potensi warga
sekolah dalam mencapa tujuan yang telah ditetapkan.
i.
Terciptanya suasana kerja yang
kondusif untuk peningkatan kinerja sekolah.
j.
Mampu memberikan rasa bangga kepada
semua pihak (warga masyarakat dan sekolah)
k.
Ada transparansi dan akuntabilitas
publik dalam melaksanakan seluruh kegiatan.
4. Ciri-ciri
sekolah yang bermutu: menurut Usman sekolah yang bermutu memiliki 13
karakteristik, sebagai berikut:
a. Kinerja
(performa); berkaitan dengan aspek fungsional sekolah.
b. Waktu
ajar (time liness): selesai dengan waktu yang wajar.
c. Handal (reliability);
usia pelayanan prima bertahan lama.
d. Daya
tahan (durability): tahan banting
e. Indah (asetetics)
f. Hubungan
manusiawi (personal interface): menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan
profesionalisme.
g. Mudah
penggunaannya (easy of use) sarana dan prasarana dipakai.
h. Bentuk
khusus (feature) keunggulan tertentu.
i.
Standar tertentu (conformance to
specification) memenuhi standar tertentu.
j.
Konsistensi (consistency) keajegan,
konstan, atau stabil
k. Seragam
(uniformity): tanpa variasi, tidak tercampur.
l.
Mampu melayani (serviceability): mampu
memberikan pelayanan prima.
m. Ketepatan
(acruracy) ketepatan dalam pelayanan (Usman, 2006).
Sekolah
yang bermutu adalah sekolah yang efektif, dimana sekolah yang efektif yaitu mencakup penggunaan standar tes,
pendekatan reputasi, dan penggunaan evaluasi sekolah serta pengembangan
berbagai aktifitas.
a. Profesional Leadership. Kepemimpinan
adalah faktor kunci pertama untuk mencapai sekolah yang efektif.
b. Shared Vision and Goals. Karakteristik
ini merujuk kepada rumusan visi dan tujuan yang jelas yang dijadikan panduan
bagi komponen sekolah. Visi tersebut bukan hanya dirumuskan, tetapi juga
disosialisasikan sehingga semua komponen sekolah mengetahui, memahami dan
memberikan dukungan untuk pencapaiannya.
c. Learning Environment, yaitu
lingkungan belajar yang kondusif.
d. Contrentation on Teaching and Learning. Sekolah
efektif memiliki fokus utama terhadap pengajaran dan pembelajaran. Dalam
konteks ini waktu sekolah benar-benar dimaksimalkan untuk belajar dan
pencapaian prestasi.
e. Purposeful Teaching. Karakter
ini mencakup kejelasan target dan tujuan, pengorganisasian yang efisien,
struktur pembelajaran, dan praktek pengajaran yang adaptif.
f. High Expectation. Adanya
harapan yang tinggi dari masyarakat terhadap sekolah. Harapan ini seringkali
memiliki korelasi dengan prestasi. Semakin tinggi harapan masyarakat terhadap
sebuah sekolah, semakin efektif sekolah tersebut.
g. Positive Reinforcement. Sekolah
efektif ditentukan juga oleh adanya penguatan dari sekolah terhadap komponen
sekolah. Penguatan dimaksud meliputi keteladanan, disiplin dan timbal balik.
h. Monitoring Progress. Sekolah
efektif adalah sekolah yang selalu memonitor perkembangan yang dicapainya.
Monitoring ini mencakup performance dan juga sekolah.
i.
Pupil Right dan Responsibilities.
Pengakuan terhadap hak-hak siswa dan melibatkannya dalam tanggung jawab
pencapaian tujuan sekolah. Terkait hal ini sekolah membangkitkan percaya diri
siswa, membangun partisipasi siswa dan memberikan ruang untuk melakukan kontrol
terhadap sekolah.
j.
Home-School Partnership. Kemitraan
yang antara sekolah dengan orang tua siswa dan masyarakat menjadi faktor kunci
berikutnya dari sekolah efektif.
k. Learning Organisation. Sekolah
eekftif adalah sebuah organisasi belajar. Faktor ini menunjuk kepada kesadaran
guru dan staf sekolah untuk selalu belajar.
5. Penyebab
rendahnya mutu pendidikan:
1.
Rendahnya
Kualitas Sarana Fisik
Untuk
sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian
teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah
yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki
laboratorium dan sebagainya.
2.
Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan
guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
3.
Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5
juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
4.
Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan
keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat. Anak-anak
Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata
mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan
penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan
mengerjakan soal pilihan ganda.
5.
Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6.
Rendahnya
Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal
tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS
(1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka
yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%.
Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak
putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya
kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
memasuki dunia kerja.
7.
Mahalnya
Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya
yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya
biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT)
membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Orang miskin tidak boleh sekolah.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar