Sunday, December 7, 2014

Manajemen Berbasis Sekolah UT Soal dan Kunci Jawaban IDIK4102

Soal-soal:
1.      Apa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah (MBS) ?
2.      Sebutkan Manajemen berbasis sekolah menurut para Ahli?
3.      Sebutkan ciri-ciri manajemen berbasis sekolah (MBS) ?
4.      Sebutkan ciri-ciri Sekolah yang bermutu serta menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS)?
5.      Sebutkan faktor-faktor Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ?
Jawaban:
1.      Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah : Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari “school-based management”. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah ( pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Dapat juga dikatakan bahwa manajemen berbasis sekolah (MBS) pada hakekatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan. Pengertian MBS suatu konsep yang menempatkan kekuasaan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pendidikan diletakkan pada tempat yang paling dekat dengan proses belajar mengajar.
2.      Manajemen berbasis sekolah menurut para ahli:
a.       Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.
b.      Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi pendidikan. Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional
3.      Cirri-ciri manajemen berbasis sekolah:
a.       Visi dan misi dirumuskan bersama oleh Kepala Sekolah, Guru, unsur siswa, Alumni, dan Stakeholder.
b.      Ada Rencana Induk Pengembangan Sekolah (RIPS) yang mengacu pada visi dan misi yang telah dirumuskan.
c.       Penyusunan RAPBS sesuai dengan RIPS yang disusun bersama oleh kepala sekolah, guru, dan komite sekolah secara transparan.
d.      Terwujudnya otonomi sekolah yang ditandai kemandirian dan dinamika sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
e.       Pengambilan keputusan dilaksanakan secara partisipatif dan demokratis.
f.       Terbuka menerima masukan, kritik, dan saran dari pihak manapun demi penyempurnaan program.
g.      Mampu membangun komitmen seluruh warga sekolah untuk mewujudkan visi dan misi yang telah ditetapkan.
h.      Pemberdayaan seluruh potensi warga sekolah dalam mencapa tujuan yang telah ditetapkan.
i.        Terciptanya suasana kerja yang kondusif untuk peningkatan kinerja sekolah.
j.        Mampu memberikan rasa bangga kepada semua pihak (warga masyarakat dan sekolah)
k.      Ada transparansi dan akuntabilitas publik dalam melaksanakan seluruh kegiatan.
4.      Ciri-ciri sekolah yang  bermutu: menurut  Usman sekolah yang bermutu memiliki 13 karakteristik, sebagai berikut:
a.       Kinerja (performa); berkaitan dengan aspek fungsional sekolah.
b.      Waktu ajar (time liness): selesai dengan waktu yang wajar.
c.       Handal (reliability); usia pelayanan prima bertahan lama.
d.      Daya tahan (durability): tahan banting
e.       Indah (asetetics)
f.       Hubungan manusiawi (personal interface): menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan profesionalisme.
g.      Mudah penggunaannya (easy of use) sarana dan prasarana dipakai.
h.      Bentuk khusus (feature) keunggulan tertentu.
i.        Standar tertentu (conformance to specification) memenuhi standar tertentu.
j.        Konsistensi (consistency) keajegan, konstan, atau stabil
k.      Seragam (uniformity): tanpa variasi, tidak tercampur.
l.        Mampu melayani (serviceability): mampu memberikan pelayanan prima.
m.    Ketepatan (acruracy) ketepatan dalam pelayanan (Usman, 2006).
Sekolah yang bermutu adalah sekolah yang efektif, dimana sekolah yang efektif  yaitu mencakup penggunaan standar tes, pendekatan reputasi, dan penggunaan evaluasi sekolah serta pengembangan berbagai aktifitas.
a.       Profesional Leadership. Kepemimpinan adalah faktor kunci pertama untuk mencapai sekolah yang efektif.
b.      Shared Vision and Goals. Karakteristik ini merujuk kepada rumusan visi dan tujuan yang jelas yang dijadikan panduan bagi komponen sekolah. Visi tersebut bukan hanya dirumuskan, tetapi juga disosialisasikan sehingga semua komponen sekolah mengetahui, memahami dan memberikan dukungan untuk pencapaiannya.
c.       Learning Environment, yaitu lingkungan belajar yang kondusif.
d.      Contrentation on Teaching and Learning. Sekolah efektif memiliki fokus utama terhadap pengajaran dan pembelajaran. Dalam konteks ini waktu sekolah benar-benar dimaksimalkan untuk belajar dan pencapaian prestasi.
e.       Purposeful Teaching. Karakter ini mencakup kejelasan target dan tujuan, pengorganisasian yang efisien, struktur pembelajaran, dan praktek pengajaran yang adaptif.
f.       High Expectation. Adanya harapan yang tinggi dari masyarakat terhadap sekolah. Harapan ini seringkali memiliki korelasi dengan prestasi. Semakin tinggi harapan masyarakat terhadap sebuah sekolah, semakin efektif sekolah tersebut.
g.      Positive Reinforcement. Sekolah efektif ditentukan juga oleh adanya penguatan dari sekolah terhadap komponen sekolah. Penguatan dimaksud meliputi keteladanan, disiplin dan timbal balik.
h.      Monitoring Progress. Sekolah efektif adalah sekolah yang selalu memonitor perkembangan yang dicapainya. Monitoring ini mencakup performance dan juga sekolah.
i.        Pupil Right dan Responsibilities. Pengakuan terhadap hak-hak siswa dan melibatkannya dalam tanggung jawab pencapaian tujuan sekolah. Terkait hal ini sekolah membangkitkan percaya diri siswa, membangun partisipasi siswa dan memberikan ruang untuk melakukan kontrol terhadap sekolah.
j.        Home-School Partnership. Kemitraan yang antara sekolah dengan orang tua siswa dan masyarakat menjadi faktor kunci berikutnya dari sekolah efektif.
k.      Learning Organisation. Sekolah eekftif adalah sebuah organisasi belajar. Faktor ini menunjuk kepada kesadaran guru dan staf sekolah untuk selalu belajar.
5.      Penyebab rendahnya  mutu pendidikan:
1.      Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2.      Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
3.      Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
4.      Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
5.      Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6.      Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7.      Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar